Suami Istri Berhak Memandang Tubuh Pasangannya Dan Mandi Bersama
ADAB-ADAB PERNIKAHAN
Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
18. MASING-MASING SUAMI ISTERI BERHAK MEMANDANG TUBUH PASANGANNYA DAN MANDI BERSAMA.
Suami isteri boleh mandi bersama di satu tempat (ruangan), walaupun masing-masing memandangnya. Dalil atas hal itu adalah sebagai berikut:
a. Apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan: “Aku mandi bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana yang berada di antara aku dengan beliau sambil tangan-tangan kami berebutan di dalamnya. Beliau mendahuluiku sehingga aku mengatakan: ‘Sisakan untukku, sisakan untukku!’ ‘Aisyah mengatakan, bahwa keduanya dalam keadaan junub.”[1]
Al-Hafizh rahimahullah berkata dalam al-Fat-h: “Dengan hadits ini ad-Dawudi (pengikut madzhab azh-Zhahiri) berargumen atas bolehnya laki-laki melihat tubuh isterinya atau sebaliknya. Hal ini dipertegas oleh apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari jalan Sulaiman bin Musa, bahwa dia ditanya tentang seseorang yang melihat kemaluan isterinya? Ia menjawab: “Aku bertanya kepada ‘Atha’, maka ia menjawab, ‘Aku bertanya kepada ‘Aisyah, lalu dia menyebutkan hadits ini secara makna, dan ini adalah nash (keterangan) dalam masalah ini.[2]
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata: “Menurutku ini menunjukkan kebathilan apa yang diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwa dia mengatakan: ‘Aku tidak pernah melihat aurat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali.’ Dalam sanadnya terdapat Barakah bin Muhammad al-Halabi, semoga tidak ada keberkahan padanya, sebab dia adalah pendusta dan pemalsu. Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan dalam al-Lisaan mengenai hadits ini, berkenaan dengan kebathilan-kebathilannya. Sedangkan hadits:
إِذَا جَامَعَ أَحَدُكُمْ زَوْجَتَهُ أَوْ جَارِيَتَهُ، فَلاَ يَنْظُرْ إِلَى فَرْجِهَا، فَإِنَّ ذَلِكَ يُوْرِثُ الْعَمَى.
‘Jika seseorang menyetubuhi isteri atau hamba sahayanya, maka janganlah melihat kemaluannya, sebab hal itu akan menyebabkan kebutaan.’[3]
Adalah hadits maudhu’ (palsu). Juga hadits:
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلْيَسْتَتِرْ، وَلاَ يَتَجَرَّدْ تَجَرَّدَ الْعَيْرَيْنِ.
‘Jika seseorang dari kalian mendatangi isterinya, maka pakailah penutup, dan janganlah bertelanjang seperti telanjangnya dua ekor keledai.’”[4] [5]
b. Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Mu’awiyah bin Haidah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Aku mengatakan ‘Wahai Rasulullah, tentang aurat kami, apa yang boleh kami tampakkan dan apa yang harus kami sembunyikan?’ Beliau bersabda:
اِحْفَظْ عَوْرَتَكَ، إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِيْنُكَ.
‘Peliharalah auratmu, kecuali terhadap isteri atau hamba sahaya yang engkau miliki.’
Aku mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, jika suatu kaum berada pada kaum lainnya?’ Beliau menjawab:
إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ لاَ يَرَيَنَّهَا أَحَدٌ فَلاَ يَرَيَنَّهَا.
‘Jika engkau mampu agar tidak ada seorang pun melihatnya, maka janganlah sampai seorang pun melihatnya.’
Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, jika salah seorang dari kami tengah sendirian?’ Beliau menjawab:
اَللهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ مِنَ النَّاسِ.
‘Allah lebih berhak untuk disikapi rasa malu daripada manusia.’[6]
Inilah salah seorang imam yang membolehkan memandang kemaluan isteri dan sebaliknya:
Ibnu ‘Urwah al-Hanbali mengatakan: “Mubah bagi tiap-tiap suami isteri memandang semua tubuh pasangannya dan menjamahnya hingga kemaluannya, berdasarkan hadits ini. Karena kemaluan isterinya halal baginya untuk menikmatinya, maka boleh pula memandangnya dan menjamahnya seperti anggota badan lainnya.”[7]
Imam Malik juga berpendapat demikian.[8]
19. BERITA TENTANG SEORANG PRIA MELIHAT SEORANG WANITA YANG MENGAGUMKANNYA.
Muslim meriwayatkan dari Jabir bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita, maka beliau datang kepada isterinya, Zainab, yang sedang menyamak kulit, lalu beliau menyelesaikan hajatnya (bercampur dengannya,-ed.). Kemudian beliau keluar menuju para Sahabatnya seraya bersabda:
إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فـِيْ صُوْرَةِ شَيْطَانٍ، وَتُدْبِرُ فِيْ صُوْرَةِ شَيْطَانٍ، فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً، فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ، فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدَّ مَا فِيْ نَفْسِهِ.
“Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam rupa syaitan dan membelakangi dalam rupa syaitan.[9] Maka apabila salah seorang dari kalian melihat seorang wanita (yang mengagum-kan,-ed.), maka datangilah isterinya. Karena sesungguhnya yang demikian itu dapat menolak apa yang ada dalam hatinya.”[10]
An-Nawawi rahimahullah berkata: “Artinya, dianjurkan bagi siapa yang melihat seorang wanita lalu syahwatnya tergerak agar mendatangi isterinya, atau sahaya wanitanya jika ia memilikinya, lalu menggaulinya untuk mengenyahkan syahwatnya dan jiwanya menjadi tenang.”
Tetapi, saudaraku yang budiman, ketahuilah bahwa menahan pandangan itu wajib, karena hadits tersebut berkenaan dan berlaku untuk pandangan secara tiba-tiba.
Dari Abu Buraidah dari ayahnya, ia mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Ali:
يَـا عَلِيُّ، لاَ تُتْبِعِ النَّظْرَةَ، فَإِنَّ لَكَ اْلأَوْلَى وَلَيْسَتْ لَكَ اْلأُخْرَى.
“Wahai ‘Ali, janganlah mengikuti satu pandangan dengan pandangan lainnya. Sebab, yang pertama untukmu dan yang kedua bukan untukmu.”[11]
Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahiihnya, dari Jabir bin ‘Abdillah, ia menuturkan: “Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan secara tiba-tiba, maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.”[12]
20. NABI MEMAKRUHKAN SEORANG SUAMI MEMANGGIL ISTERINYA: “WAHAI SAUDARIKU”.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Tamimah al-Hujaimi, bahwa seorang pria berkata kepada isterinya, “Wahai saudariku.” Mendengar hal itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apakah dia saudara perempuanmu?” Beliau tidak me-nyukai hal itu dan melarangnya.[13]
Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Ibrahim Alaihissallam tidak pernah berdusta[14] kecuali dengan tiga kedustaan, dua di antaranya dilakukan kerena Allah Azza wa Jalla [15] , yaitu ucapannya: (إِنِّـي سَقِيْمٌ ) ‘Sesungguhnya aku sakit,’[16] dan ucapannya: (بَـلْ فَعَلَهُ كَبِيْـرُهُمْ ) ‘Bahkan yang terbesar dari mereka inilah yang melakukannya.’[17] Ia (Abu Hurairah Radhiyallahu anhu) melanjutkan: “Ketika Ibrahim pada suatu hari beserta Sarah, tiba-tiba seseorang datang kepada salah seorang penguasa untuk melaporkan kepadanya: ‘Sesungguhnya di sini ada seorang pria bersama seorang wanita yang paling cantik.’ Mendengar laporan itu, dia meminta Ibrahim meng-hadapnya lalu bertanya kepadanya tentang wanita tersebut, maka ia menjawab: ‘Saudariku.’ Kemudian Ibrahim datang kepada Sarah seraya mengatakan: ‘Wahai Sarah, tidak ada di permukaan bumi ini seorang mukmin pun selain aku dan dirimu. Sesungguhnya orang ini bertanya kepadaku tentangmu, maka aku mengabarkan kepadanya bahwa engkau adalah saudariku, maka janganlah engkau mendustakanku.” Sang penguasa memerintahkan supaya Sarah menghadapnya. Ketika Sarah menemuinya, maka dia mencoba menjamahnya dengan tangannya lalu ia pun dihukum (oleh Allah sehingga tangannya kaku, tidak dapat digerakkan), lalu ia mengatakan: ‘Berdo’alah kepada Allah untukku dan aku tidak akan mencelakakanmu.’ Sarah pun berdo’a kepada Allah sehingga Dia melepaskan dirinya. Kemudian dia menjamahnya untuk kedua kalinya lalu ia pun dihukum seperti sebelumnya bahkan lebih keras, lalu ia pun mengatakan: ‘Berdo’alah kepada Allah untukku, dan aku tidak akan mencelakakanmu.’ Sarah pun berdo’a kepada Allah, sehingga dia terbebas. Akhirnya dia memanggil sebagian pengawalnya seraya mengatakan: ‘Sesungguhnya kalian tidak membawa seorang manusia kepadaku, tetapi kalian membawa syaitan.’ Akhirnya dia memperbantukan Hajar kepada Sarah. Kemudian Sarah datang kepada Ibrahim dalam keadaan berdiri mengerjakan shalat. Setelah itu, Ibrahim menanyakan keadaan Sarah, maka ia menjawab: ‘Allah telah menjadikan tipu daya orang kafir -atau orang jahat- menimpa dirinya sendiri, dan dia memberiku Hajar (sebagai sahayaku).’” Abu Hurairah berkata: “Itulah ibu kalian, wahai Bani Maa-is Samaa’ (bangsa Arab seluruhnya).”[18]
Al-Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullah mengomentari hadits ini: “Hadits ini berisi dalil atas orang yang memanggil isterinya: ‘Saudariku’ atau ‘ibuku’ dengan tujuan memuliakan dan menghormati, bukan menzhiharnya.”[19]
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 250) kitab al-Ghusl, Muslim (no. 46) kitab al-Haidh, dan lafazh baginya.
[2]. Fat-hul Baari (I/364).
[3]. Syaikh Al-Albani berkata dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 111): “Hadits ini maudhu’ sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Abu Hatim ar-Razi, Ibnu Hibban, dan diikuti oleh Ibnul Jauzi dan ‘Abdul Haqq dalam Ahkaamnya (143/1), juga Ibnu Daqiq al-‘Ied dalam al-Khulaashah (118/2). Dan saya telah menjelaskan ‘illatnya (alasan-alasannya) dalam Silsilah al-Ahaadiits adh-Dha’iifah (no. 195).
[4]. HR. Ibnu Majah (no. 1921) kitab an-Nikaah, dan didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 111).
[5]. Aadaabuz Zifaaf (hal. 111).
[6]. HR. At-Tirmidzi (no. 2769) kitab al-Adab, Ibnu Majah (no. 1921) kitab an-Nikaah, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 112).
[7]. Dinisbatkan oleh Syaikh al-Albani dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 111) kepada al-Kawaakib (575/29/1).
[8]. Fat-hul Baari (I/307).
[9]. Para ulama berkata: “Maksudnya adalah suatu isyarat dalam mengajak kepada hawa nafsu dan fitnah (godaan), karena Allah telah menciptakan kaum pria memiliki kecenderungan menyukai kaum wanita dan menikmati ketika me-mandang mereka dan apa saja yang terkait dengan wanita, hal ini serupa dengan syaitan yang selalu mengajak kepada keburukan, dengan bisikan dan tipu dayanya untuk itu.”
[10]. HR. Al-Bukhari (no. 1403) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1158) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2151) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 14128).
[11]. HR. At-Tirmidzi (no. 2777) kitab al-Adab dan dia menyatakan: “Hadits hasan gharib,” Abu Dawud (no. 2149), kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 22482).
[12]. HR. Muslim (no. 2159) kitab al-Adab, at-Tirmidzi (no. 2776) kitab al-Adab, Abu Dawud (no. 2148) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 18679), ad-Darimi (no. 2643) kitab al-Isti’-dzaan.
[13]. HR. Abu Dawud (no. 2210) kitab ath-Thalaaq. Al-Mundziri berkata: “Ini adalah hadits mursal.” Lihat ‘Aunul Ma’buud (VI/211).
[14]. “Ibrahim tidak berdusta.” Al-Maziri berkata: “Adapun berdusta dalam menyampaikan apa yang berasal dari Allah, maka para Nabi ma’shum darinya, banyak maupun sedikit. Adapun yang tidak bertalian dengan penyampaian dan yang dikategorikan sebagai dosa-dosa kecil, seperti berdusta dalam perkara dunia yang remeh, maka kemungkinan terjadinya hal itu dari mereka ada dua pendapat yang masyhur di kalangan Salaf dan Khalaf.” Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: “Yang benar bahwa berdusta dalam penyampaian (wahyu dari Allah) tidak terbayangkan terjadinya pada mereka, baik kita membolehkan terjadinya dosa-dosa kecil maupun tidak, baik dustanya sedikit maupun banyak. Karena ke-dudukan Nabi terbebas darinya, dan membolehkan hal itu akan menghilangkan kepercayaan terhadap ucapan mereka.”
[15]. “Dua di antaranya dilakukan karena Allah.” Artinya, bahwa kedustaan-kedustaan tersebut hanyalah dalam hubungannya dengan pemahaman orang yang diajak bicara atau orang yang mendengar. Adapun dalam peristiwa ini, maka bukanlah kedustaan yang tercela, karena dua hal: Pertama, dia melakukan tauriyah (kata yang diucapkan mengandung makna yang berbeda dengan apa yang difahami oleh orang yang mendengarnya). Dia mengatakan tentang Sarah: “Saudariku seislam”, dan ini benar dalam esensi perkara. Kedua, seandainya dia berdusta, bukan tauriyah, maka itu boleh dalam rangka menolak kezhaliman. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan bahwa dusta-dusta ini tidak ter-masuk dalam kategori kemutlakan dusta yang tercela.
[16]. Ash-Shaaffaat: 89
[17]. Al-Anbiyaa’: 63.
[18]. HR. Al-Bukhari (no. 3358) kitab Ahaadiitsul Anbiyaa’, Muslim (no. 2371), kitab al-Fadhaa-il, at-Tirmidzi (no. 3166) kitab Tafsiir al-Qur-aan.
[19]. Lihat ‘Aunul Ma’buud (VII/212). Ibnul Qayyim berkata: “Ucapan Ibrahim ini dinamakan dusta karena tauriyah. Manusia keberatan menyebut tauriyah se-bagai dusta, karena orang yang berbicara tidak lain memaksudkan dengan lafazh tersebut suatu makna yang diinginkannya, lalu bagaimana disebut dusta? Penjelasan mengenai hal itu, bahwa ini kedustaan dalam hubungannya dengan pemahaman orang yang diajak bicara, bukan dalam hubungannya dengan tujuan orang yang berbicara. Karena pembicaraan itu mempunyai dua penisbatan: dinisbatkan kepada orang yang bicara dan dinisbatkan kepada orang diajak bicara. Ketika orang yang bertauriyah ingin memahamkan orang yang diajak bicara sesuatu yang berbeda dengan apa yang dimaksudkannya dengan kata-katanya, maka kedustaan dinisbatkan padanya.”
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2375-masing-masing-suami-istri-berhak-memandang-tubuh-pasangannya-dan-mandi-bersama.html